Kisah Perkembangan Musik Jazz Di Tanah Air
Kisah Perkembangan Musik Jazz Di Tanah Air
Tanggal 27-29 Mei 2022 kemarin, menjadi salah satu tonggak euforia musik tanah air. Pasalnya, sehabis sebagian lama digempur pandemi, pada akhirnya Indonesia lagi menggelar salah satu perhelatan akbar yang biasa digelar tahunan, yaitu Java Jazz.
Java Jazz yang kali ini menggaet Bank Nasional Indonesia (BNI) sebagai sponsor utama, lagi hadir sehabis vakum terhadap th. 2021 karena harus bekerja serupa bersama dengan pemerintah didalam upaya menekan penularan virus Covid-19.
Sebagai event musik tahunan berskala besar yang selamanya ikut mengakibatkan seniman mancanegara, Java Jazz berkembang menjadi budaya. Kehadirannya tak cuma ditunggu oleh para penggemar yang cuma mencintai genre Jazz, namun juga penikmat musik secara umum. Tapi, ahukah Kamu kalau Java Jazz bukanlah hanya satu layanan perkenalan musik yang konon dinilai bergengsi ini ke telinga para pribumi?
Paparan Jazz Di Indonesia
Jazz merasa dikenal sekitar th. 1914 di Chicago. Genre ini dilahirkan oleh group Amerika kulit hitam di New Orleans. Musik genre ini biasanya khas bersama dengan improvisasi dan sinkopasi, atau pergantian aksen terhadap nada, serta diiringi instrumen khusus.
Berawal dari musik tradisional, jazz sesudah itu dikembangkan oleh masyarakat Afrika-Amerika di Amerika Selatan. Budaya Afrika bahkan memiliki peran lebih didalam pertumbuhan musik ini, yaitu lewat ritme yang terus menerus dan pergerakan emosi yang kental. Tak cuma itu, teriakan budak Afrika di Amerika juga menjadi paduan didalam genre ini sampai menjadi type para musisi New Orleans.
Perlahan popularitas jazz merasa menjelajah. Beragam aliran pun berdampak terhadap pertumbuhan musik ini bersama dengan beragam karakteristik. Misalnya saja, aliran Dixieland yang mempengaruhi musik jazz dunia terhadap 1917. Selain itu tersedia juga aliran jazz fusion, yaitu paduan jazz didalam genre rock yang sempat coba dilaksanakan sebagian band rock dan populer terhadap jaman 1960-an. Kemudian, kita juga mengenal Herbie Hancock yang merupakan percampuran jazz bersama dengan unsur rock, aliran funk, disko, sampai musik elektronik.
Di Indonesia sendiri, musik jazz diperkirakan masuk terhadap th. 1930-an sehabis dibawa oleh seorang musisi pendatang asal Filipina yang sedang mencari pekerjaan.
Musik jazz pun sesudah itu merasa dimainkan di sebagian hotel di Jakarta, Hotel Des Indes dan Hotel De Nederlander. Di luar ibu kota, alunan musik ini juga kerap terdengar, seandainya di Hotel Homann Bandung atau Hotel Oranje (Yamato) Surabaya (Prahesty, 2010).
Di jaman 1970-an, tak cuma di hotel-hotel, genre musik ini pun merasa menjamah beragam bar. Sayangnya, group yang menikmatinya masih terbatas terhadap musisi dan group tertentu. Pada perkembangannya, tersedia jaman sub-genre bossa nova yang berasal dari Brazil, sebagai padu padan jazz dan samba, populer di tanah air.
Dari Acara Kampus Hingga Perhelatan Akbar
Meski konsumennya masih terbilang terbatas, tren nikmati jazz tak meredup. Perkembangan musisi di genre ini pun pada akhirnya menginsprasi Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menggelar fesival musik bertajuk Pro Jazz terhadap 1975. Ide mendatangkan irama jazz ke universitas yang diwujudkan perguruan tinggi ternama di kota kembang berikut sesudah itu diikuti oleh kampus-kampus lainnya. Salah satunya adalah Universitas Indonesia.
Diprakarsai oleh Candra Darusman, Jazz Goes to Campus (JGTC) pertama kali digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BEM FE UI) terhadap th. 1976. Meski digarap oleh panitia yang masih berstatus mahasiswa, semarak festival ini bisa mendatangkan beragam musisi dari didalam maupun luar negeri. Tak ayal, JGTC sesudah itu menjelma sebagai acara teratur yang menjadi salah satu kebanggaan universitas berlambang makara kuning tersebut.
Di ranah profesional, nama genre jazz lagi bangkit di jaman 1980-an. Pada jaman itu, sekelompok musisi di genre ini merasa berani tampil di luar komunitas.
Nama-nama musisi muda layaknya Elfa Secoria, Indra Lesmana, dan Idang Rasjidi merasa terdengar di panggung hiburan publik, tak lagi sekadar bermain eksklusif untuk komunitasnya. Kebangkitan berikut berhilir terhadap didirikannya Jakarta International Jazz Festival dengan sebutan lain Jak Jazz terhadap th. 1988 oleh Ireng Maulana, yang didalam perjalanannya terhubung bersama dengan kelahiran Java Jazz di Indonesia.
Kehadiran Jak Jazz mendapat perhatian dari Peter F. Gontha, seorang penikmat jazz Indonesia yang mengagumi sejumlah festival genre berikut di mancanegara. Pada jaman awal berkibarnya Jak Jazz, Gontha memang idamkan belanja semua memproses festival ini. Kala itu, pebisnis sarana ini bermimpi untuk menggelar festival sekelas North Sea Jazz di Den Haag, Belanda. Akan tetapi, permohonan berikut mendapat penolakan dari pihak Jak Jazz yang merasa masih bisa memproses festivalnya sendiri.
Sayangnya, memproses JakJazz yang selamanya terjadi sebagai proyek Ireng dan para krunya merasa tersendat sejak krisis moneter 1998. Setiap tahunnya, acara yang digelar bisa dikatakan tidak pernah sebesar th. sebelumnya. Bagaimanapun, pagelaran musik ini selamanya mengadakan acara meski bersama dengan dana terbatas dan pas yang tak rutin.
Di lain sisi, Peter Gontha merasa sungguh-sungguh menggarap Java Jazz sebagai rubah penolakan belanja JakJazz. Sejak pertama kali diadakan terhadap th. 2005, cuma sekali saja, karena pandemi di th. 2021 saja, perhelatan musik ini vakum. Selebihnya, perhelatan musik ini teratur digelar setiap th. bersama dengan beragam merk yang mengantre untuk menjadi sponsor.
Antara Jazz Murni dan Budaya Populer
Meski membawa-bawa kata jazz didalam nama besarnya, tak dimungkiri bahwa selamanya tersedia musisi non-jazz yang ikut menjadi line-up artist didalam Java Jazz. Pada musim 2022 ini misalnya, anda mungkin dapat mengernyitkan dahi dikala membaca nama group band d’Masiv sebagai salah satu penampil.
Ini bukan perihal yang tiba-tiba. Strategi mengakibatkan musisi di luar jazz ini memang telah dianut sejak Java Jazz sejak awal gelarannya. Pada Java Jazz perdana th. 2005, group Padi menjadi hanya satu band penampil yang tidak bernafaskan jazz. Kali itu adalah untuk pertama kalinya sebuah festival jazz menghadirkan musisi non-jazz. Karenanya, kehadiran Padi terhadap pagelaran jazz itu bukan cuma menjadi pertanyaan. Sempat pula, kehadiran Padi menjadi candaan di kalangan sesama musisi, yaitu bersama dengan mengatakan bahwa group itu dapat membuat perubahan nama menjadi Padi Jazz Band.
Keunikan trik Java Jazz ini nyatanya terus dilanjutkan terhadap tahun-tahun selanjutnya bersama dengan mendatangkan beragam musisi pop atau genre lain dari tanah air. Kahitna, KLA Project, Maliq and the Essentials, Iwa K, dan Ecoutez adalah sebagian yang sempat hadir di perhelatan itu.
Berbeda bersama dengan sejumlah pagelaran jazz yang mulanya lebih berbentuk apresiatif dan tidak dirancang untuk mencari keuntungan, Java Jazz tak memungkiri rasa khawatir atas kerugian. Pasalnya, kalau cuma mengakibatkan musisi dari genrenya, sebuah festival jazz dapat minim publisitas dan sponsor, agar terancam tak mendatangkan untung, atau bahkan sekadar untuk balik modal.
Taktik JavaJazz yang mendatangkan musisi di luar genrenya pasti menjadi perdebatan. Di satu sisi, terdapat basis penikmat jazz yang kecewa dan merasa genre kesukaannya tak lagi eksklusif. Tapi di sisi lain, pagelaran ini justru menjadi ajang agar jazz tak lagi asing di telinga masyarakat umum, selain pasti saja untuk melindungi perputaran roda bisnis promotor. Kalau kamu, lebih setuju yang mana nih.